Kepemimpinan Khalifah Ali Bin Abi Thalib (35-40H/656-661M)
Ali dilahirkan di Mekkah, tempat Hejaz, Jazirah Arab, pada tanggal 13 Rajab. Menurut sejarawan, Ali dilahirkan 10 tahun sebelum dimulainya kenabian Muhammad, sekitar tahun 599 Masehi atau 600 (perkiraan). Muslim Syi'ah percaya bahwa Ali dilahirkan di dalam Ka'bah. Usia Ali terhadap Nabi Muhammad masih diperselisihkan hingga kini, sebagian riwayat menyebut berbeda 25 tahun, ada yang berbeda 27 tahun, ada yang 30 tahun bahkan 32 tahun.
Dia berjulukan asli Assad bin Abu Thalib, bapaknya Assad yakni salah seorang paman dari Muhammad SAW. Assad yang berarti Singa ialah keinginan keluarga Abu Thalib untuk mempunyai penerus yang dapat menjadi tokoh pemberani dan disegani di antara kalangan Quraisy Mekkah. Setelah mengetahui anaknya yang gres lahir diberi nama Assad, Ayahnya memanggil dengan Ali yang berarti Tinggi (derajat di sisi Allah).
Setelah periode hijrah dan tinggal di Madinah, Ali menikah dengan Fatimah az-Zahra, putri Nabi Muhammad. Ali tidak menikah dengan wanita lain saat Fatimah masih hidup. Tertulis dalam Tarikh Ibnu Atsir, sehabis itu Ali menikah dengan Ummu Banin binti Haram, Laila binti Mas'ud, Asma binti Umais, Sahba binti Rabia, Umamah binti Abil Ash, Haulah binti Ja'far, Ummu Said binti Urwah, dan Mahabba binti Imru'ul Qais
Setelah wafatnya khalifah Utsman, umat yang tidak punya pemimpin dengan wafatnya Utsman, membaiat Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah gres. Pengukuhan Ali menjadi khalifah tidak semulus pengakuan tiga orang khalifah pendahulunya. Ia di bai‟at di tengah-tengah maut Utsman, kontradiksi dan kekacauan dan kebingungan umat islam Madinah, sebab kaum pemberontak yang membunuh Utsman mendaulat Ali semoga bersedia dibaiat menjadi khalifah.
Hal yang paling substansial menjadi perdebatan Setelah kepergian Rasulullah Saw adalah masalah kepemimpinan, khususnya tentang siapa yang berhak menjadi pengganti dia dalam melanjutkan kepemimpinan dan menjaga serta melestarikan nilai-nilai yang telah diajarkan peribadi agung ini dalam kehidupan individu maupun sosial kemasyarakatan.
Beragam gagasan dan konsepsi ihwal masalah ini telah mewarnai perjalanan sejarah umat terdahulu, mulai dari pengangkatan Abu Bakar As-Shiddiq di Balariung Saqifah melalui musyawarah oleh segelentir kaum muslimin, penunjukan Abu Bakar kepada Umar bin Khattab sebagai pengganti, penetapan dewan syura’ oleh Umar bin Khattab untuk mengurus penggantinya (terpilih Usman bin Affan), dan baiat secara massal dari publik kepada Ali bin Abi Thalib sesudah Usman bin Affan.
Meski dalam putaran roda waktu tersebut, sejarah Islam awal (pasca wafatnya Rasulullah) telah diwarnai dengan bermacam-macam teladan/skema penetapan kepemimpinan (bahkan ada yang berujung pada konflik yang berkepanjangan), tapi paling tidak terdapat satu hal yang menjadi perekat dari semuanya, adalah komitmen oleh kaum Muslimin akan pentingnya pemimpin dan kepemimpinan dalam Islam.
Konflik internal yang kontras dalam catatan sejarah umat Islam awal adalah setelah terbunuhnya Khalifah ke tiga (Usman bin Affan). Khawatir akan terjadinya fitnah yang berujung pada perpecahan berlarut, maka masyarakat Madinah tidak membiarkan kesenjangan ini, dan bergegas memilih Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin pengganti, dan memang selaku kandidat terkuat berdasarkan pengamatan dewan syura’ bentukan Umar bin Khattab yang masih hidup. Bahkan para sejarawan bersepakat bahwa Ali dipilih secara aklamasi, dan menuntut baiat (akreditasi/legitimasi) di masjid secara terbuka dengan kesepakatan seluruh hadirin (Mahmoud M. Ayub, 2004:129). Maka dari itu mampu dipahami bahwa Ali yaitu khalifah pertama dan satu-satunya yang terpilih secara umum dalam sejarah kekhalifaan.
Kekhawatiran kaum muslimin akan terjadinya fitnah dan konflik internal pasca terbunuhnya Usman bin Affan, pun ternyata tidak dapat dibendung. Kaum muslimin terkotak-kotakkan kedalam bebarapa kelompok, dan masing-masing dari mereka membangun sistem fatwa tersendiri. Tidak hanya sampai disitu, saling mengintrik antara satu komunitas yang satu dengan komunitas yang lainnya pun terkumandangkan, endingnya ialah pertentangan dan perang. Dan inilah fase tantangan yang harus dihadapi oleh Ali bin Abi Thalib as.
Demikianlah teman bacaan madani ulasan ihwal kepemimpinan khalifah Ali bin Abi Thalib (35-40H/656-661M). Sumber Modul 3 Perkembangan Islam Masa Khulafaur Rasyidin, Pendidikan Profesi Guru dalam Jabatan Kementerian Agama Republik Indonesia 2018. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com supaya bermanfaat. Aamiin.
Dia berjulukan asli Assad bin Abu Thalib, bapaknya Assad yakni salah seorang paman dari Muhammad SAW. Assad yang berarti Singa ialah keinginan keluarga Abu Thalib untuk mempunyai penerus yang dapat menjadi tokoh pemberani dan disegani di antara kalangan Quraisy Mekkah. Setelah mengetahui anaknya yang gres lahir diberi nama Assad, Ayahnya memanggil dengan Ali yang berarti Tinggi (derajat di sisi Allah).
Setelah periode hijrah dan tinggal di Madinah, Ali menikah dengan Fatimah az-Zahra, putri Nabi Muhammad. Ali tidak menikah dengan wanita lain saat Fatimah masih hidup. Tertulis dalam Tarikh Ibnu Atsir, sehabis itu Ali menikah dengan Ummu Banin binti Haram, Laila binti Mas'ud, Asma binti Umais, Sahba binti Rabia, Umamah binti Abil Ash, Haulah binti Ja'far, Ummu Said binti Urwah, dan Mahabba binti Imru'ul Qais
Setelah wafatnya khalifah Utsman, umat yang tidak punya pemimpin dengan wafatnya Utsman, membaiat Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah gres. Pengukuhan Ali menjadi khalifah tidak semulus pengakuan tiga orang khalifah pendahulunya. Ia di bai‟at di tengah-tengah maut Utsman, kontradiksi dan kekacauan dan kebingungan umat islam Madinah, sebab kaum pemberontak yang membunuh Utsman mendaulat Ali semoga bersedia dibaiat menjadi khalifah.
Hal yang paling substansial menjadi perdebatan Setelah kepergian Rasulullah Saw adalah masalah kepemimpinan, khususnya tentang siapa yang berhak menjadi pengganti dia dalam melanjutkan kepemimpinan dan menjaga serta melestarikan nilai-nilai yang telah diajarkan peribadi agung ini dalam kehidupan individu maupun sosial kemasyarakatan.
Beragam gagasan dan konsepsi ihwal masalah ini telah mewarnai perjalanan sejarah umat terdahulu, mulai dari pengangkatan Abu Bakar As-Shiddiq di Balariung Saqifah melalui musyawarah oleh segelentir kaum muslimin, penunjukan Abu Bakar kepada Umar bin Khattab sebagai pengganti, penetapan dewan syura’ oleh Umar bin Khattab untuk mengurus penggantinya (terpilih Usman bin Affan), dan baiat secara massal dari publik kepada Ali bin Abi Thalib sesudah Usman bin Affan.
Meski dalam putaran roda waktu tersebut, sejarah Islam awal (pasca wafatnya Rasulullah) telah diwarnai dengan bermacam-macam teladan/skema penetapan kepemimpinan (bahkan ada yang berujung pada konflik yang berkepanjangan), tapi paling tidak terdapat satu hal yang menjadi perekat dari semuanya, adalah komitmen oleh kaum Muslimin akan pentingnya pemimpin dan kepemimpinan dalam Islam.
Konflik internal yang kontras dalam catatan sejarah umat Islam awal adalah setelah terbunuhnya Khalifah ke tiga (Usman bin Affan). Khawatir akan terjadinya fitnah yang berujung pada perpecahan berlarut, maka masyarakat Madinah tidak membiarkan kesenjangan ini, dan bergegas memilih Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin pengganti, dan memang selaku kandidat terkuat berdasarkan pengamatan dewan syura’ bentukan Umar bin Khattab yang masih hidup. Bahkan para sejarawan bersepakat bahwa Ali dipilih secara aklamasi, dan menuntut baiat (akreditasi/legitimasi) di masjid secara terbuka dengan kesepakatan seluruh hadirin (Mahmoud M. Ayub, 2004:129). Maka dari itu mampu dipahami bahwa Ali yaitu khalifah pertama dan satu-satunya yang terpilih secara umum dalam sejarah kekhalifaan.
Kekhawatiran kaum muslimin akan terjadinya fitnah dan konflik internal pasca terbunuhnya Usman bin Affan, pun ternyata tidak dapat dibendung. Kaum muslimin terkotak-kotakkan kedalam bebarapa kelompok, dan masing-masing dari mereka membangun sistem fatwa tersendiri. Tidak hanya sampai disitu, saling mengintrik antara satu komunitas yang satu dengan komunitas yang lainnya pun terkumandangkan, endingnya ialah pertentangan dan perang. Dan inilah fase tantangan yang harus dihadapi oleh Ali bin Abi Thalib as.
0 Response to "Kepemimpinan Khalifah Ali Bin Abi Thalib (35-40H/656-661M)"
Post a Comment