Kemajuan Era Dinasti Umayyah Bidang Sosial Dan Ekonomi
Kemajuan Bidang Sosial dan Ekonomi di Masa Dinasti Umayyah
A. Bidang Ekonomi
Pada kala Dinasti Umayyah, ekonomi mengalami kemajuan luar biasa. Dengan wilayah penaklukan yang begitu luas, maka hal itu memungkinkannya untuk mengeksploitasi potensi ekonomi negeri-negeri taklukan. Mereka juga mampu mengangkut sejumlah besar budak ke dunia Islam. Penggunaan tenaga kerja ini membuat bangsa Arab hidup dari negeri taklukan dan menjadikannya kelas pemungut pajak dan sekaligus memungkinkannya mengeksploitasi negeri- negeri tersebut, seperti Mesir, Suriah dan Irak.
Tetapi bukan hanya eksplotasi yang bersifat menguras saja yang dilakukan oleh Dinasti umayyah, tetapi ada juga perjuangan untuk memakmurkan negeri taklukannya. Hal ini terlihat dari kebijakan Gubernur Irak yang saat itu dijabat oleh al-Hajjaj bin Yusuf. Dia berhasil memperbaiki akses-terusan air sungai Euphrat dan Tigris, memajukan perdagangan, dan memperbaiki sistem ukuran timbang, dosis dan keuangan al-Malik, tapi cetakan itu hanyalah tiruan dari mata uang Bizantium dan Persia. Selanjutnya pada tahun 695-M, ’Abd al-Malik mencetak dinar emas dan dirham perak yang murni hasil karya orang Arab. Wakilnya di Irak, al-Hajjaj, mencetak uang perak di Kufah pada tahun berikutnya.
Adapun sumber utama pemasukan sama saja dengan sumber pendapatan pada kurun Khulafa ar-Rasyidin, yakni pajak. Di setiap provinsi, semua biaya untuk urusan manajemen lokal, belanja tahunan negara, honor pasukan, dan banyak sekali bentuk layanan masyarakat dipenuhi dari pemasukan lokal, dan sisanya dimasukkan ke dalam kas Negara.
B. Bidang Sosial
Pada masa dinasti Umayyah, orang-orang Muslim Arab memandang dirinya lebih mulia dari segala bangsa bukan Arab (Mawali). Orang-orang Arab memandang dirinya “sayyid” (tuan) atas bangsa bukan Arab, seakan- akan mereka dijadikan Tuhan untuk memerintah. Sehingga antara bangsa Arab dengan negeri taklukannya terjadi jurang pemisah dalam hal pertolongan hak- hak bernegara.
Masyarakat pada kurun Dinasti Umayyah terbagi ke dalam empat kelas sosial. Kelas tertinggi biasanya diisi para penguasa Islam, dipimpin oleh keluarga kerajaan dan kaum bangsawan Arab. Kelas sosial kedua yakni para muallaf yang masuk Islam melalui pemaksaan sehingga negara mengakui hak penuh mereka sebagai warga Muslim. Kelas sosial ketiga adalah anggota sekte dan para pemilik kitab suci yang diakui, yang disebut ahl al-dzimmah, adalah orang Yahudi, Kristen dan Saba yang telah mengikat perjanjian dengan umat Islam. Selanjutnya, kelas paling rendah dalam masyarakat yakni golongan budak. Meskipun perlakuan terhadap budak telah diperbaiki, tetapi dalam prakteknya mereka tetap menjadi penduduk kelas rendah.
Khalifah Dinasti Umayyah banyak yang bergaya hidup glamor dan berbeda dengan para khalifah sebelumnya. Meskipun demikian, mereka tidak pernah melupakan orangorang lemah, miskin dan cacat. Pada kala tersebut dibangun berbagai panti untuk menampung dan menyantuni para yatim piatu, faqir miskin dan penderita cacat. Untuk orang-orang yang terlibat dalam acara kemanusiaan tersebut mereka digaji oleh pemerintah secara tetap.
Memang, kehidupan langsung para khalifah Dinasti Umayyah tidak terlepas dari kekurangan dan kelemahan. Hampir semua khalifah mempunyai gundik. Yazid-bin Abd alMalik sangat menyayangi dua gadis penyanyinya, Salamah dan Habibah, sehingga saat Habibah meninggal alasannya adalah tersumbat sebuah anggur yang dilempar khalifah ke dalam mulutnya ketika sedang bercanda. Khalifah yang tengah dimabuk asmara itu sangat menyesal sampai meninggal dunia.
Di bawah penguasa Yazid bin Mu’awiyah, penggunaan anggur menjadi sebuah tradisi. Pesta anggur biasanya dilakukan bersamaan dengan pesta musik. Permainan dadu dan kartu juga dipraktekkan di dalam kerajaan. Balapan kuda sangat terkenal di bawah kekuasaan Dinasti Umayyah. Musik dikembangkan dan sejumlah uang diberikan kepada para pemusik dan penyanyi.
Demikian, pesta-pesta semacam itu tidak sepenuhnya kosong dari nilai budaya. Pesta-pesta itu menggugah perkembangan puisi, musik dan sisi kehidupan estetika secara umum, tidak hanya menjadi arena pesta pora.
Selama kala kekuasaan Dinasti Umayyah, dua kota Hijaz, Makkah dan Madinah, menjadi tempat berkembangnya musik, lagu dan puisi. Sementara itu, kota kembar di Irak, Bashrah dan Kufah, menjelma sentra acara intelektual di dunia Islam. Di sini, kajian ilmiah tentang bahasa dan tata bahasa Arab telah dimulai. Motif awalnya adalah keinginan untuk memenuhi kebutuhan bahasa para pemeluk agama Islam gres yang ingin mempelajari Al-Qur’an, menduduki posisi pemerintahan, dan mampu berinteraksi dengan para penakluk.
Di samping itu, kesenjangan yang besar antara bahasa klasik Al-Qur’an dengan bahasa percakapan sehari-hari yang telah tercampur dengan bahasa Suriah, Persia dan bahasa serta dialek lain menjadi pemicu munculnya minat pengkajian bahasa. Oleh sebab itu, bukan suatu kebetulan kalau perintis tata bahasa Arab legendaris Abu al-Aswad al-Duwali (wafat 688-M), berasal dari Baghdad.
Al-Qur’an yang telah dikodifikasi pada zaman Abu Bakar dan ‘Usman bin ‘Affan ditulis tanpa titik. Menurut salah satu riwayat, ulama pertama yang menunjukkan baris dan titik pada huruf-huruf Al-Qur’an ialah Hasan al-Bashri (642-728 M) atas perintah Abd al-Malik bin Marwan (685-705 M). Abd al-Malik bin Marwan menginstruksikan kepada al-Hajjaj untuk menyempurnakan goresan pena Al-Qur’an. Lalu al-Hajjaj meminta Hasan alBashri untuk menyempurnakannya. Dalam hal ini, Hasan al-Bashri dibantu oleh Yahya bin Ya’mura (murid Abu al-Aswad ad-Duwali).
Dalam riwayat lain, dikatakan bahwa yang pertama menciptakan baris dan titik pada huruf-abjad Al-Qur’an adalah Abu al-Aswad ad-Duwali. Selanjutnya, pada abad Khalifah Umar bin ‘Abd al-‘Aziz, telah dipelopori juga untuk penulisan hadis. Beliau memerintahkan kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm (w. 120 H), Gubernur Madinah, untuk menuliskan hadis yang ada dalam hapalan-hapalan penghapal hadis.
Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan ihwal kemajuan periode Dinasti Umayyah di bidang ssosial dan ekonomi. Sumber buku Siswa SKI Kelas X MA Kementerian Agama Republik Indonesia, 2014. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com biar bermanfaat. Aamiin.
A. Bidang Ekonomi
Pada kala Dinasti Umayyah, ekonomi mengalami kemajuan luar biasa. Dengan wilayah penaklukan yang begitu luas, maka hal itu memungkinkannya untuk mengeksploitasi potensi ekonomi negeri-negeri taklukan. Mereka juga mampu mengangkut sejumlah besar budak ke dunia Islam. Penggunaan tenaga kerja ini membuat bangsa Arab hidup dari negeri taklukan dan menjadikannya kelas pemungut pajak dan sekaligus memungkinkannya mengeksploitasi negeri- negeri tersebut, seperti Mesir, Suriah dan Irak.
Tetapi bukan hanya eksplotasi yang bersifat menguras saja yang dilakukan oleh Dinasti umayyah, tetapi ada juga perjuangan untuk memakmurkan negeri taklukannya. Hal ini terlihat dari kebijakan Gubernur Irak yang saat itu dijabat oleh al-Hajjaj bin Yusuf. Dia berhasil memperbaiki akses-terusan air sungai Euphrat dan Tigris, memajukan perdagangan, dan memperbaiki sistem ukuran timbang, dosis dan keuangan al-Malik, tapi cetakan itu hanyalah tiruan dari mata uang Bizantium dan Persia. Selanjutnya pada tahun 695-M, ’Abd al-Malik mencetak dinar emas dan dirham perak yang murni hasil karya orang Arab. Wakilnya di Irak, al-Hajjaj, mencetak uang perak di Kufah pada tahun berikutnya.
Adapun sumber utama pemasukan sama saja dengan sumber pendapatan pada kurun Khulafa ar-Rasyidin, yakni pajak. Di setiap provinsi, semua biaya untuk urusan manajemen lokal, belanja tahunan negara, honor pasukan, dan banyak sekali bentuk layanan masyarakat dipenuhi dari pemasukan lokal, dan sisanya dimasukkan ke dalam kas Negara.
B. Bidang Sosial
Pada masa dinasti Umayyah, orang-orang Muslim Arab memandang dirinya lebih mulia dari segala bangsa bukan Arab (Mawali). Orang-orang Arab memandang dirinya “sayyid” (tuan) atas bangsa bukan Arab, seakan- akan mereka dijadikan Tuhan untuk memerintah. Sehingga antara bangsa Arab dengan negeri taklukannya terjadi jurang pemisah dalam hal pertolongan hak- hak bernegara.
Masyarakat pada kurun Dinasti Umayyah terbagi ke dalam empat kelas sosial. Kelas tertinggi biasanya diisi para penguasa Islam, dipimpin oleh keluarga kerajaan dan kaum bangsawan Arab. Kelas sosial kedua yakni para muallaf yang masuk Islam melalui pemaksaan sehingga negara mengakui hak penuh mereka sebagai warga Muslim. Kelas sosial ketiga adalah anggota sekte dan para pemilik kitab suci yang diakui, yang disebut ahl al-dzimmah, adalah orang Yahudi, Kristen dan Saba yang telah mengikat perjanjian dengan umat Islam. Selanjutnya, kelas paling rendah dalam masyarakat yakni golongan budak. Meskipun perlakuan terhadap budak telah diperbaiki, tetapi dalam prakteknya mereka tetap menjadi penduduk kelas rendah.
Khalifah Dinasti Umayyah banyak yang bergaya hidup glamor dan berbeda dengan para khalifah sebelumnya. Meskipun demikian, mereka tidak pernah melupakan orangorang lemah, miskin dan cacat. Pada kala tersebut dibangun berbagai panti untuk menampung dan menyantuni para yatim piatu, faqir miskin dan penderita cacat. Untuk orang-orang yang terlibat dalam acara kemanusiaan tersebut mereka digaji oleh pemerintah secara tetap.
Memang, kehidupan langsung para khalifah Dinasti Umayyah tidak terlepas dari kekurangan dan kelemahan. Hampir semua khalifah mempunyai gundik. Yazid-bin Abd alMalik sangat menyayangi dua gadis penyanyinya, Salamah dan Habibah, sehingga saat Habibah meninggal alasannya adalah tersumbat sebuah anggur yang dilempar khalifah ke dalam mulutnya ketika sedang bercanda. Khalifah yang tengah dimabuk asmara itu sangat menyesal sampai meninggal dunia.
Di bawah penguasa Yazid bin Mu’awiyah, penggunaan anggur menjadi sebuah tradisi. Pesta anggur biasanya dilakukan bersamaan dengan pesta musik. Permainan dadu dan kartu juga dipraktekkan di dalam kerajaan. Balapan kuda sangat terkenal di bawah kekuasaan Dinasti Umayyah. Musik dikembangkan dan sejumlah uang diberikan kepada para pemusik dan penyanyi.
Demikian, pesta-pesta semacam itu tidak sepenuhnya kosong dari nilai budaya. Pesta-pesta itu menggugah perkembangan puisi, musik dan sisi kehidupan estetika secara umum, tidak hanya menjadi arena pesta pora.
Selama kala kekuasaan Dinasti Umayyah, dua kota Hijaz, Makkah dan Madinah, menjadi tempat berkembangnya musik, lagu dan puisi. Sementara itu, kota kembar di Irak, Bashrah dan Kufah, menjelma sentra acara intelektual di dunia Islam. Di sini, kajian ilmiah tentang bahasa dan tata bahasa Arab telah dimulai. Motif awalnya adalah keinginan untuk memenuhi kebutuhan bahasa para pemeluk agama Islam gres yang ingin mempelajari Al-Qur’an, menduduki posisi pemerintahan, dan mampu berinteraksi dengan para penakluk.
Di samping itu, kesenjangan yang besar antara bahasa klasik Al-Qur’an dengan bahasa percakapan sehari-hari yang telah tercampur dengan bahasa Suriah, Persia dan bahasa serta dialek lain menjadi pemicu munculnya minat pengkajian bahasa. Oleh sebab itu, bukan suatu kebetulan kalau perintis tata bahasa Arab legendaris Abu al-Aswad al-Duwali (wafat 688-M), berasal dari Baghdad.
Al-Qur’an yang telah dikodifikasi pada zaman Abu Bakar dan ‘Usman bin ‘Affan ditulis tanpa titik. Menurut salah satu riwayat, ulama pertama yang menunjukkan baris dan titik pada huruf-huruf Al-Qur’an ialah Hasan al-Bashri (642-728 M) atas perintah Abd al-Malik bin Marwan (685-705 M). Abd al-Malik bin Marwan menginstruksikan kepada al-Hajjaj untuk menyempurnakan goresan pena Al-Qur’an. Lalu al-Hajjaj meminta Hasan alBashri untuk menyempurnakannya. Dalam hal ini, Hasan al-Bashri dibantu oleh Yahya bin Ya’mura (murid Abu al-Aswad ad-Duwali).
Dalam riwayat lain, dikatakan bahwa yang pertama menciptakan baris dan titik pada huruf-abjad Al-Qur’an adalah Abu al-Aswad ad-Duwali. Selanjutnya, pada abad Khalifah Umar bin ‘Abd al-‘Aziz, telah dipelopori juga untuk penulisan hadis. Beliau memerintahkan kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm (w. 120 H), Gubernur Madinah, untuk menuliskan hadis yang ada dalam hapalan-hapalan penghapal hadis.
0 Response to "Kemajuan Era Dinasti Umayyah Bidang Sosial Dan Ekonomi"
Post a Comment