Kemajuan Kala Dinasti Umayyah Di Bidang Keagamaan Dan Bidang Pendidikan Dan Ilmu Pengetahuan
Kemajuan Bidang Keagamaan dan Bidang Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan di Masa Dinasti Umayyah
A. Bidang Keagamaan
Pada kala Dinasti Umayyah, terdapat beberapa gerakan pemikiran keagamaa. Hal ini ditandai pada paruh pertama era ke-8, di Bashrah hidup seorang tokoh terkenal bernamaWashil bin ‘Atha (wafat tahun 748-M), seorang pendiri mazhab rasionalisme yang disebut Mu’tazilah. Orang Mu’tazilah memperoleh sebutan itu, karena mendakwahkan pedoman bahwa siapa pun yang melaksanakan dosa besar dianggap telah keluar dari barisan orang beriman, tapi tidak menjadikannya kafir.
Dalam hal ini, orang semacam itu berada dalam kondisi pertengahan antara kedua status itu (manzilah bainal manzilatain). Washil pernah belajar kepada Hasan al-Bashri, ia cenderung pada iman kebebasan berkehendak (free will), yang lalu menjadi doktrin utama dalam sistem kepercayaan orang Mu’tazilah. Doktrin tersebut pada dikala itu dianut kelompok Qadariyah (free will), yang dibedakan dari kelompok Jabariyah (fatalism). Orang Qadariyah merepresentasikan penentangan terhadap konsep takdir yang ketat dalam Islam, kekuasaan Tuhan yang sangat ditekankan dalam Al-Qur’an, dan dampak Yunani Kristen.
Di samping itu, tumbuhnya gagasan dan fatwa filosofis Arab pada waktu itu, tidak terlepas dari imbas tradisi Nasrani dan filsafat Yunani. Salah satu agen utama yang memperkenalkan Islam dengan tradisi Katolik dan pemikiran Yunani pada kala itu yaitu St. John (Santo Yahya) dari Damaskus (Joannes Damascenus), yang dijuluki Chrysorrhoas (lidah emas), karena ketika tinggal di Antokia beliau dikenal dengan nama Chrysostom.
Selain Mu’tazilah, sekte keagamaan lain yang tumbuh berkembang pada kurun ini adalah kelompok Khawarij. Pada awalnya kelompok ini adalah pendukung setia Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib, namun pada perkembangannya menjadi penentang Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib yang paling berbahaya. Ini terjadi karena mereka menolak hasil negosiasi antara Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah, mereka melakukan pemberontakan dan melaksanakan kerusakan di muka bumi. Kelompok Khawarij merupakan orang-orang yang keras kepala dan menginginkan insan hanya ada dalam dua kubu, yaitu kafir dan mukmin. Barang siapa yang sesuai dengan pandangannya, dianggap sebagai orang mukmin. Sebaliknya, barang siapa yang dianggap tidak sesuai dengan pandangannya, dianggap sebagai orang kafir.
Sekte lain yang muncul pada era Dinasti Umayyah adalah Murji’ah, yang mengusung doktrin irja’, ialah penangguhan eksekusi terhadap orang beriman yang melaksanakan dosa, dan mereka tetap dianggap Muslim. Menurut Murji’ah, kenyataan bahwa Dinasti Umayyah yakni orang Islam sudah cukup menjadi pembenaran bahwa mereka merupakan pemimpin umat. Secara umum, anutan pokok Murji’ah berkisar pada toleransi.
Di antara gagasan pemikiran Murji’ah yang terpenting adalah bahwa mukmin yang melakukan maksiat akan disiksa oleh Allah di akhirat nanti, dan sehabis disiksa akan ditempatkan di nirwana. Kelompok lainnya yakni Syi’ah. Kegigihan kelompok Syi’ah dengan dogma utamanya terhadap Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib dan putra-putranya, yang diklaim sebagai imam sejati, masih tetap menjadi karakteristik utama kelompok ini. Kelompokini lahir sehabis gagalnya negosiasi tenang antara Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
Dari peristiwa ini pengikut setia Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib menganut suatu anutan dalam Islam yang disebut dengan Syi’ah. Kelompok ini meyakini Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib beserta para keturunannya yakni pemimpin umat Islam sesudah wafatnya Rasulullah Saw.
B. Bidang Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan
Pada abad Dinasti Umayyah belum ada pendidikan formal. Putra-putra khalifah Dinasti Umayyah biasanya disekolahkan ke Badiyah, gurun Suriah, untuk mempelajari bahasa Arab murni, dan mendalami puisi. Ke sanalah Mu’awiyah mengirimkan putranya yang kemudian menjadi penerusnya, Yazid bin Mu’awiyah.
Masyarakat luas memandang orang yang mampu membaca dan menulis bahasa aslinya, bisa menggunakan busur dan panah, serta terpelajar berenang, sebagai seorang terpelajar. Nilai-nilai utama yang ditanamkan dalam pendidikan, sebagaimana terungkap dari berbagai literatur tentang pendidikan adalah keberanian, daya tahan dikala tertimpa musibah, mentaati hak dan kewajiban tetangga, menjaga harga diri, kedermawanan dan keramahtamahan, penghormatan terhadap perempuan, dan pemenuhan janji. Kebanyakan nilai tersebut sangat dijunjung tinggi dalam kehidupan orang badui.
Ilmu pengetahuan yang dikenal orang Arab pada masa itu terdiri dari dua macam, yakni ilmu agama dan ilmu tubuh manusia (ilmu pengobatan). Pada era penaklukan Arab di Asia Barat, ilmu pengetahuan Yunani tidak berjaya lagi. Ia lebih merupakan sebuah tradisi yang dilestarikan oleh para praktisi dan komentator tulisan Yunani atau Suriah.
Dokter-dokter istana Dinasti Umayyah berasal dari kelompok tersebut. Tabib paling menonjol di antara mereka ialah Ibnu Utsal, seorang dokter Mu’awiyah yang beragama Kristen, Tayazhuq, dokter al-Hajjaj dari Yunani. Seorang dokter Yahudi dari Persia, Masarjawayh yang tinggal di Bashrah pada abad awal-awal pemerintahan Marwan bin al-Hakam, menerjemahkan ke dalam bahasa Arab sebuah naskah Suriah wacana pengobatan yang awalnya ditulis dalam bahasa Yunani oleh seorang pendeta Katolik di Iskandariyah, Ahrun, dan merupakan buku ilmiah pertama dalam bahasa Arab.
Ilmu pengetahuan di abad ini mengalami perkembangan yang pesat, bahkan ilmu pengobatan mencapai kesempurnaannya di Arab. Khalid bin Yazid memperoleh kesarjanaan dalam ilmu kimia dan kedokteran, serta menulis beberapa buku tentang bidang itu. Khalid bin Yazid (wafat tahun 704-M atau 708-M) putra khalifah Dinasti Umayyah kedua, merupakan orang Islam pertama yang menerjemahkan buku-buku berbahasa Yunani dan Koptik wacana kimia, kedokteran, dan astrologi. Meskipun terbukti legendaris, mengasosiasikan penerjemahan itu kepada Khalid bin Yazid menjadi penting, karena hal itu menandakan fakta bahwa orang Arab menggali tradisi ilmiah mereka dari sumber-sumber Yunani, dan dari sanalah mereka memperoleh tenaga penggeraknya.
Naskah-naskah astrologi dan kimia yang dinisbatkan kepada Ja’far al-Shadiq (700-M-765-M), seorang keturunan Khalifah ’Ali bin Abi Thalib, dan salah satu dari 12 Imam Syi’ah, telah diragukan keasliannya oleh para sarjana modern yang kritis. Kenyataan paling tidak menyenangkan seputar kehidupan intelektual pada abad Dinasti Umayyah adalah bahwa dia tidak mewariskan kepada kita sumber-sumber berbentuk dokumen yang mampu dijadikan bahan kajian.
Demikianlah sobat bacaan madani ulasan wacana kemajuan era Dinasti Umayyah di bidang agama dan bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan. Sumber buku Siswa SKI Kelas X MA Kementerian Agama Republik Indonesia, 2014. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com biar bermanfaat. Aamiin.
A. Bidang Keagamaan
Pada kala Dinasti Umayyah, terdapat beberapa gerakan pemikiran keagamaa. Hal ini ditandai pada paruh pertama era ke-8, di Bashrah hidup seorang tokoh terkenal bernamaWashil bin ‘Atha (wafat tahun 748-M), seorang pendiri mazhab rasionalisme yang disebut Mu’tazilah. Orang Mu’tazilah memperoleh sebutan itu, karena mendakwahkan pedoman bahwa siapa pun yang melaksanakan dosa besar dianggap telah keluar dari barisan orang beriman, tapi tidak menjadikannya kafir.
Dalam hal ini, orang semacam itu berada dalam kondisi pertengahan antara kedua status itu (manzilah bainal manzilatain). Washil pernah belajar kepada Hasan al-Bashri, ia cenderung pada iman kebebasan berkehendak (free will), yang lalu menjadi doktrin utama dalam sistem kepercayaan orang Mu’tazilah. Doktrin tersebut pada dikala itu dianut kelompok Qadariyah (free will), yang dibedakan dari kelompok Jabariyah (fatalism). Orang Qadariyah merepresentasikan penentangan terhadap konsep takdir yang ketat dalam Islam, kekuasaan Tuhan yang sangat ditekankan dalam Al-Qur’an, dan dampak Yunani Kristen.
Di samping itu, tumbuhnya gagasan dan fatwa filosofis Arab pada waktu itu, tidak terlepas dari imbas tradisi Nasrani dan filsafat Yunani. Salah satu agen utama yang memperkenalkan Islam dengan tradisi Katolik dan pemikiran Yunani pada kala itu yaitu St. John (Santo Yahya) dari Damaskus (Joannes Damascenus), yang dijuluki Chrysorrhoas (lidah emas), karena ketika tinggal di Antokia beliau dikenal dengan nama Chrysostom.
Selain Mu’tazilah, sekte keagamaan lain yang tumbuh berkembang pada kurun ini adalah kelompok Khawarij. Pada awalnya kelompok ini adalah pendukung setia Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib, namun pada perkembangannya menjadi penentang Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib yang paling berbahaya. Ini terjadi karena mereka menolak hasil negosiasi antara Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah, mereka melakukan pemberontakan dan melaksanakan kerusakan di muka bumi. Kelompok Khawarij merupakan orang-orang yang keras kepala dan menginginkan insan hanya ada dalam dua kubu, yaitu kafir dan mukmin. Barang siapa yang sesuai dengan pandangannya, dianggap sebagai orang mukmin. Sebaliknya, barang siapa yang dianggap tidak sesuai dengan pandangannya, dianggap sebagai orang kafir.
Sekte lain yang muncul pada era Dinasti Umayyah adalah Murji’ah, yang mengusung doktrin irja’, ialah penangguhan eksekusi terhadap orang beriman yang melaksanakan dosa, dan mereka tetap dianggap Muslim. Menurut Murji’ah, kenyataan bahwa Dinasti Umayyah yakni orang Islam sudah cukup menjadi pembenaran bahwa mereka merupakan pemimpin umat. Secara umum, anutan pokok Murji’ah berkisar pada toleransi.
Di antara gagasan pemikiran Murji’ah yang terpenting adalah bahwa mukmin yang melakukan maksiat akan disiksa oleh Allah di akhirat nanti, dan sehabis disiksa akan ditempatkan di nirwana. Kelompok lainnya yakni Syi’ah. Kegigihan kelompok Syi’ah dengan dogma utamanya terhadap Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib dan putra-putranya, yang diklaim sebagai imam sejati, masih tetap menjadi karakteristik utama kelompok ini. Kelompokini lahir sehabis gagalnya negosiasi tenang antara Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
Dari peristiwa ini pengikut setia Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib menganut suatu anutan dalam Islam yang disebut dengan Syi’ah. Kelompok ini meyakini Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib beserta para keturunannya yakni pemimpin umat Islam sesudah wafatnya Rasulullah Saw.
B. Bidang Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan
Pada abad Dinasti Umayyah belum ada pendidikan formal. Putra-putra khalifah Dinasti Umayyah biasanya disekolahkan ke Badiyah, gurun Suriah, untuk mempelajari bahasa Arab murni, dan mendalami puisi. Ke sanalah Mu’awiyah mengirimkan putranya yang kemudian menjadi penerusnya, Yazid bin Mu’awiyah.
Masyarakat luas memandang orang yang mampu membaca dan menulis bahasa aslinya, bisa menggunakan busur dan panah, serta terpelajar berenang, sebagai seorang terpelajar. Nilai-nilai utama yang ditanamkan dalam pendidikan, sebagaimana terungkap dari berbagai literatur tentang pendidikan adalah keberanian, daya tahan dikala tertimpa musibah, mentaati hak dan kewajiban tetangga, menjaga harga diri, kedermawanan dan keramahtamahan, penghormatan terhadap perempuan, dan pemenuhan janji. Kebanyakan nilai tersebut sangat dijunjung tinggi dalam kehidupan orang badui.
Ilmu pengetahuan yang dikenal orang Arab pada masa itu terdiri dari dua macam, yakni ilmu agama dan ilmu tubuh manusia (ilmu pengobatan). Pada era penaklukan Arab di Asia Barat, ilmu pengetahuan Yunani tidak berjaya lagi. Ia lebih merupakan sebuah tradisi yang dilestarikan oleh para praktisi dan komentator tulisan Yunani atau Suriah.
Dokter-dokter istana Dinasti Umayyah berasal dari kelompok tersebut. Tabib paling menonjol di antara mereka ialah Ibnu Utsal, seorang dokter Mu’awiyah yang beragama Kristen, Tayazhuq, dokter al-Hajjaj dari Yunani. Seorang dokter Yahudi dari Persia, Masarjawayh yang tinggal di Bashrah pada abad awal-awal pemerintahan Marwan bin al-Hakam, menerjemahkan ke dalam bahasa Arab sebuah naskah Suriah wacana pengobatan yang awalnya ditulis dalam bahasa Yunani oleh seorang pendeta Katolik di Iskandariyah, Ahrun, dan merupakan buku ilmiah pertama dalam bahasa Arab.
Ilmu pengetahuan di abad ini mengalami perkembangan yang pesat, bahkan ilmu pengobatan mencapai kesempurnaannya di Arab. Khalid bin Yazid memperoleh kesarjanaan dalam ilmu kimia dan kedokteran, serta menulis beberapa buku tentang bidang itu. Khalid bin Yazid (wafat tahun 704-M atau 708-M) putra khalifah Dinasti Umayyah kedua, merupakan orang Islam pertama yang menerjemahkan buku-buku berbahasa Yunani dan Koptik wacana kimia, kedokteran, dan astrologi. Meskipun terbukti legendaris, mengasosiasikan penerjemahan itu kepada Khalid bin Yazid menjadi penting, karena hal itu menandakan fakta bahwa orang Arab menggali tradisi ilmiah mereka dari sumber-sumber Yunani, dan dari sanalah mereka memperoleh tenaga penggeraknya.
Naskah-naskah astrologi dan kimia yang dinisbatkan kepada Ja’far al-Shadiq (700-M-765-M), seorang keturunan Khalifah ’Ali bin Abi Thalib, dan salah satu dari 12 Imam Syi’ah, telah diragukan keasliannya oleh para sarjana modern yang kritis. Kenyataan paling tidak menyenangkan seputar kehidupan intelektual pada abad Dinasti Umayyah adalah bahwa dia tidak mewariskan kepada kita sumber-sumber berbentuk dokumen yang mampu dijadikan bahan kajian.
0 Response to "Kemajuan Kala Dinasti Umayyah Di Bidang Keagamaan Dan Bidang Pendidikan Dan Ilmu Pengetahuan"
Post a Comment