Sistem Pemerintahan Bani Umayyah Di Damaskus
Adapun sistem pemerintahan yang diterapkan Bani Umayyah yaitu sistem monarkhi (Monarchiheridetis), yang mana suksesi kepemimpinan dilakukan secara turun temurun. Semenjak Muawiyah berkuasa, raja-raja Umayyah yang berkuasa kelak menunjuk penggantinya dan para pemuka agama diwajibkan menyatakan sumpah setia di hadapan raja. Sistem pengangkatan penguasa seperti ini, bertentangan dengan prinsip dasar dan pedoman permusyawaratan. Sistem ini merupakan bentuk kedua dari sistem pemerintahan yang pernah dipraktekkan umat Islam sebelumnya, yakni musyawarah, dimana sepeninggal Nabi Muhammad Saw, khulafur rasyidin dipilih sebagai pemimpin berdasarkan musyawarah.
Dalam menata administrasi pemerintahan, Bani Umayyah berbagi manajemen pemerintahan sebelunya ialah khulafaurrasyidin. Pada abad Umar bin Khatab, telah ada lima bentuk departemen, yakni Nidhamul Maaly, Nidhamul harbi, Nidhamul Idary, Nidhamul Siashi dan Nidhamul Qadhi.
Bentuk departemen ini kemudian dikembangkan lagi oleh Muawiyah bin Abi Sufyan dalam bentuk yang lebih luas dan menyeluruh, sebagai berikut.
a. An-Nidham Al-Idar.
Organisasi tata usaha negara pada permulaan Islam sangat sederhana, tidak diadakan pembidangan usaha yang khusus. Demikian pula keadaannya pada kurun Daulah Bani Umayyah, administrasi negara sangat simpel. Pada umumnya, di daerahdaerah Islam bekas kawasan Romawi dan Persia, administrasi pemerintahan dibiarkan terus berlaku seperti yang telah ada, kecuali diadakan perubahan-perubahan kecil. Ada empat organisasi tata usaha pada kurun Bani Umayyah, yakni:
1) Ad-Dawawin.
Untuk mengurus tata usaha pemerintahan, maka Daulah Umayyah mengadakan empat buah dewan atau kantor sentra, yang memiliki tugas dan tanggung jawab mengurus surat-surat lamaran raja, menyiarkannya, menstempel, membungkus dengan kain dan dibalut dengan lilin lalu di atasnya dicap. Keempat dewan tersebut, yaitu diwanul kharraj, diwanur rasail, diwanul mustaghilat al-mutanawi’ah, dan diwanul Khatim.
2) Al-Imarah Ala Al-Buldan.
Daulah Umayyah membagi kawasan Mamlakah Islamiyah kepada lima wilayah besar. Untuk setiap wilayah besar ini, diangkat seorang Amirul Umara (Gubernur Jenderal) yang dibawah kekuasaannya ada beberapa orang amir (gubernur) yang mengepalai satu wilayah. Dalam rangka pelaksanaan kesatuan politik bagi negeri-negeri Arab, maka khalifah Umar mengangkat para gubernur jenderal yang berasal dari orang-orang Arab. Politik ini dijalankan terus oleh khalifah khalifah sesudahnya, termasuk para khalifah Daulah Umayyah. Kelima wilayah tersebut mencakup:
a) Hijaz, Yaman dan Nejed (pedalaman jazirah Arab)
b) Irak Arab dan Irak Ajam, Aman dan Bahrain, Karman dan Sajistan, Kabul dan Khurasan, negeri-negeri di belakang sungai (Ma Wara'a Nahri) dan Sind serta sebagian negeri Punjab
c) Mesir dan Sudan
d) Armenia, Azerbaijan, dan Asia Kecil
e) Afrika Utara, Libia, Andalusia, Sisilia, Sardinia dan Balyar
3) Barid.
Organisasi pos diadakan dalam tata usaha Negara Islam sejak Muawiyah bin Abi Sofyan memegang jabatan khalifah. Setelah khalifah Abdul Malik bin Marwan berkuasa maka diadakan perbaikan-perbaikan dalam organisasi pos, sehingga dia menjadi alat yang sangat vital dalam manajemen negara.
4) Syurthah.
Organisasi syurthah (kepolisian) dilanjutkan terus dalam abad Daulah Umayyah, bahkan disempurnakan. Pada mulanya organisasi kepolisian ini menjadi bab dari organisasi kehakiman, yang bertugas melaksanakan perintah hakim dan keputusan-keputusan pengadilan, dan kepalanya sebagai pelaksana al-Hudud. Tidak lama lalu, maka organisasi kepolisian terpisah dari kehakiman dan bangun sendiri, dengan tugas mengawasi dan mengurus soal-soal kejahatan. Khalifah Hisyam memasukkan dalam organisasi kepolisian satu tubuh yang berjulukan Nidhamul Ahdas dengan peran hampir serupa dengan peran tentara adalah semacam brigade kendaraan beroda empat.
b. An Nidham Al-Mali
Yaitu organisasi keuangan atau ekonomi, bahwa sumber uang masuk pada zaman Daulah Umayyah pada umumnya seperti di zaman permulaan Islam.
1) Al Dharaib.
Yaitu suatu kewajiban yang harus dibayar oleh warga Negara (Al Dharaib) pada zaman Daulah Umayyah dan sudah berlaku kewajiban ini di zaman permulaan Islam. Kepada penduduk dari negeri-negeri yang gres ditaklukkan, terutama yang belum masuk Islam, ditetapkan pajak- pajak istimewa. Sikap yang begini yang telah menjadikan perlawanan pada beberapa kawasan.
2) Masharif Baitul Mal.
Yaitu susukan uang keluar pada kurun Daulah Umayyah, pada umumnya sama mirip pada periode permulaan Islam ialah untuk:
(a) Gaji para pegawai dan tentara serta biaya tata perjuangan Negara;
(b) Pembangunan pertanian, termasuk irigasi dan penggalian terusan-saluran;
(c) Biaya orang-orang hukuman dan tawanan perang;
(d) Biaya perlengkapan perang; dan
(e) Hadiah-hadiah kepada para pujangga dan para ulama.
Selain itu, para khalifah Umayyah menyediakan dana khusus untuk dinas belakang layar, sedangkan gaji tentara ditingkatkan sedemikian rupa, demi untuk menjalankan politik tangan besinya.
c. An Nidham Al-Harbi
Organisasi pertahanan pada kala Daulah Umayyah sama mirip yang telah dibentuk oleh khalifah Umar, hanya lebih disempurnakan. Hanya bedanya, jikalau pada waktu Khulafaur Rasyidin tentara Islam adalah tentara sukarela, maka pada zaman Daulah Umayyah orang masuk tentara kebanyakan dengan paksa atau setengah paksa, yang dinamakan Nidhamut Tajnidil Ijbari yakni semacam undang-undang wajib militer.
Politik ketentaraan pada kurun Bani Umayyah, adalah politik Arab oriented, dimana anggota tentara haruslah terdiri dari orang-orang Arab atau imam Arab. Keadaan itu berjalan terus, sampai-sampai tempat kerajaannya menjadi luas meliputi Afrika Utara, Andalusia dan lain-lainnya sehingga terpaksa meminta pemberian kepada bangsa Barbar untuk menjadi tentara.
Organisasi tentara pada abad ini banyak mencontoh organisasi tentara Persia. Pada abad khalifah Utsman telah mulai dibangun angkatan maritim Islam, tetapi sangat sederhana. Setelah Muawiyah memegang kendali negara Islam, maka dibangunlah armada Islam yang besar lengan berkuasa dengan tujuan untuk:
(1) mempertahankan kawasan-daerah Islam dari serangan armada Romawi; dan
(2) memperluas dakwah Islamiyah.
Muawiyah membentuk armada demam isu panas dan armada trend dingin, sehingga ia sanggup bertempur dalam segala ekspresi dominan. Armada Laut Syam terdiri dari banyak kapal perang, di zaman Muawiyah Laksamana Aqobah bin Amri Fahrim menyerang pulau Rhadas. Dalam tahun 53 H, armada Romawi menyerang tempat Islam dan terbunuh seorang panglimanya yang berjulukan Wardan. Hal ini membuka mata kaum muslimin sehingga para pembesar Islam bergegas membangun galangan kapal perang di Pulau Raudhah dalam tahun 64 H.
d. An Nidhamm Al-Qadhai
Pada kurun Daulah Umayyah kekuasaan pengadilan telah dipisahkan dari kekuasaan politik. Kehakiman pada zaman itu memiliki dua ciri khasnya yakni:
(1) Bahwa seorang qadhi menetapkan masalah dengan ijtihadnya, karena pada waktu itu belum ada lagi madzhab empat atau madzhab lainnya. Pada abad itu para qadhimenggali hukum sendiri dari al-Qur'an dan As Sunnah dengan berijtihad.
(2) Kehakiman belum terpengaruh dengan politik, alasannya para qadhi bebas merdeka dengan hukumnya, tidak terpengaruh dengan kehendak para pembesar yang berkuasa. Para hakim pada zaman Umayyah ialah manusia pilihan yang bertakwa kepada Allah Swt dan melakukan aturan dengan adil, sementara itu para khalifah mengawasi gerakgerik dan sikap mereka, sehingga jikalau ada yang menyeleweng langsung dipecat.
Kekuasaan kehakiman di zaman ini dibagi ke dalam tiga tubuh:
(1) Al-Qadha, seorang qadhi bertugas menyelesaikan perkara-masalah yang bekerjasama dengan agama;
(2) Al-Hisbah, seorang al-Muhtashib bertugas menuntaskan kasus-perkara umum dan soal-soal pidana yang memerlukan tindakan cepat; dan
(3) An-Nadhar fil Madhalim yaitu mahkamah tertinggi atau mahkamah banding.
An Nadhar fil Madhalim merupakan pengadilan tertinggi yang bertugas menerima banding dari pengadilan yang berada di bawahnya dan mengadili para hakim dan para pembesar tinggi yang bersalah. Pengadilan ini bersidang di bawah pimpinan khalifah sendiri atau orang yang ditunjuk olehnya. Para khalifah Bani Umayyah menyediakan satu hari saja dalam seminggu untuk keperluan ini dan yang pertama kali mengadakannya ialah Khalifah Abdul Malik bin Marwan. Seperti mahkamahmahkamah yang lain, Mahkamah Madhalim ini diadakan dalam masjid. Ketua Mahkamah Madhalim dibantu oleh lima orang pejabat lainnya, dimana sidang mahkamah itu tidak sah tanpa mereka adalah:
(1) Para pengawal yang kuat, yang sanggup bertindak kalau para pesakitan lari;
(2) Para hakim dan qadhi;
(3) Para sarjana aturan (fuqaha) kawasan para hakim meminta pendapat tentang hokum; dan
(4) Para penulis yang bertugas mencatat segala jalannya siding.
Mahkamah Madhalim dipimpin oleh khalifah, bila di ibukota negara oleh gubernur dan jika di ibukota wilayah oleh Qadhil Qudhah atau hakim-hakim lain yang mewakili khalifah atau gubernur. Para hakim waktu mengadili masalah memakai jubah dan sorban hitam, sebagai lambang dari Daulah Abbasiyah. Jubah dan sorban hitam pada waktu itu, khusus untuk para hakim.
Selain itu, pada era Daulah Umayyah diadakan satu jabatan baru yang bernama al-Hijabah, yakni urusan pengawalan keselamatan khalifah. Mungkin sebab khawatir akan terulang peristiwa pembunuhan terhadap Ali dan percobaan pembunuhan terhadap Muawiyah dan Amru bin Ash, maka diadakanlah penjagaan yang ketat sekali terhadap diri khalifah, sehingga siapapun tidak mampu menghadap sebelum mendapat izin dari para pengawal (hujjab).
Kepala pengawalan keselamatan khalifah yakni jabatan yang sangat tinggi dalam istana kerajaan, waktu khalifah Abdul Malik bin Marwan melantik kepala pengawalnya, antara lain ia memberi amanat, “Engkau telah kuangkat menjadi kepalapengawalku. Siapapun dihentikan masuk menghadap tanpa izinmu, kecuali muazzin, pengantar pos dan pengurus dapur”.
Demikianlah teman bacaan madani ulasan tentang sistem pemerintahan bani Umayyah di Damaskus. Sumber Modul 4 Perkembangan Islam Sesudah Masa Khulafaur Rasyidin, Pendidikan Profesi Guru dalam Jabatan Kementerian Agama Republik Indonesia 2018. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com supaya bermanfaat. Aamiin.
Dalam menata administrasi pemerintahan, Bani Umayyah berbagi manajemen pemerintahan sebelunya ialah khulafaurrasyidin. Pada abad Umar bin Khatab, telah ada lima bentuk departemen, yakni Nidhamul Maaly, Nidhamul harbi, Nidhamul Idary, Nidhamul Siashi dan Nidhamul Qadhi.
Bentuk departemen ini kemudian dikembangkan lagi oleh Muawiyah bin Abi Sufyan dalam bentuk yang lebih luas dan menyeluruh, sebagai berikut.
a. An-Nidham Al-Idar.
Organisasi tata usaha negara pada permulaan Islam sangat sederhana, tidak diadakan pembidangan usaha yang khusus. Demikian pula keadaannya pada kurun Daulah Bani Umayyah, administrasi negara sangat simpel. Pada umumnya, di daerahdaerah Islam bekas kawasan Romawi dan Persia, administrasi pemerintahan dibiarkan terus berlaku seperti yang telah ada, kecuali diadakan perubahan-perubahan kecil. Ada empat organisasi tata usaha pada kurun Bani Umayyah, yakni:
1) Ad-Dawawin.
Untuk mengurus tata usaha pemerintahan, maka Daulah Umayyah mengadakan empat buah dewan atau kantor sentra, yang memiliki tugas dan tanggung jawab mengurus surat-surat lamaran raja, menyiarkannya, menstempel, membungkus dengan kain dan dibalut dengan lilin lalu di atasnya dicap. Keempat dewan tersebut, yaitu diwanul kharraj, diwanur rasail, diwanul mustaghilat al-mutanawi’ah, dan diwanul Khatim.
2) Al-Imarah Ala Al-Buldan.
Daulah Umayyah membagi kawasan Mamlakah Islamiyah kepada lima wilayah besar. Untuk setiap wilayah besar ini, diangkat seorang Amirul Umara (Gubernur Jenderal) yang dibawah kekuasaannya ada beberapa orang amir (gubernur) yang mengepalai satu wilayah. Dalam rangka pelaksanaan kesatuan politik bagi negeri-negeri Arab, maka khalifah Umar mengangkat para gubernur jenderal yang berasal dari orang-orang Arab. Politik ini dijalankan terus oleh khalifah khalifah sesudahnya, termasuk para khalifah Daulah Umayyah. Kelima wilayah tersebut mencakup:
a) Hijaz, Yaman dan Nejed (pedalaman jazirah Arab)
b) Irak Arab dan Irak Ajam, Aman dan Bahrain, Karman dan Sajistan, Kabul dan Khurasan, negeri-negeri di belakang sungai (Ma Wara'a Nahri) dan Sind serta sebagian negeri Punjab
c) Mesir dan Sudan
d) Armenia, Azerbaijan, dan Asia Kecil
e) Afrika Utara, Libia, Andalusia, Sisilia, Sardinia dan Balyar
3) Barid.
Organisasi pos diadakan dalam tata usaha Negara Islam sejak Muawiyah bin Abi Sofyan memegang jabatan khalifah. Setelah khalifah Abdul Malik bin Marwan berkuasa maka diadakan perbaikan-perbaikan dalam organisasi pos, sehingga dia menjadi alat yang sangat vital dalam manajemen negara.
4) Syurthah.
Organisasi syurthah (kepolisian) dilanjutkan terus dalam abad Daulah Umayyah, bahkan disempurnakan. Pada mulanya organisasi kepolisian ini menjadi bab dari organisasi kehakiman, yang bertugas melaksanakan perintah hakim dan keputusan-keputusan pengadilan, dan kepalanya sebagai pelaksana al-Hudud. Tidak lama lalu, maka organisasi kepolisian terpisah dari kehakiman dan bangun sendiri, dengan tugas mengawasi dan mengurus soal-soal kejahatan. Khalifah Hisyam memasukkan dalam organisasi kepolisian satu tubuh yang berjulukan Nidhamul Ahdas dengan peran hampir serupa dengan peran tentara adalah semacam brigade kendaraan beroda empat.
b. An Nidham Al-Mali
Yaitu organisasi keuangan atau ekonomi, bahwa sumber uang masuk pada zaman Daulah Umayyah pada umumnya seperti di zaman permulaan Islam.
1) Al Dharaib.
Yaitu suatu kewajiban yang harus dibayar oleh warga Negara (Al Dharaib) pada zaman Daulah Umayyah dan sudah berlaku kewajiban ini di zaman permulaan Islam. Kepada penduduk dari negeri-negeri yang gres ditaklukkan, terutama yang belum masuk Islam, ditetapkan pajak- pajak istimewa. Sikap yang begini yang telah menjadikan perlawanan pada beberapa kawasan.
2) Masharif Baitul Mal.
Yaitu susukan uang keluar pada kurun Daulah Umayyah, pada umumnya sama mirip pada periode permulaan Islam ialah untuk:
(a) Gaji para pegawai dan tentara serta biaya tata perjuangan Negara;
(b) Pembangunan pertanian, termasuk irigasi dan penggalian terusan-saluran;
(c) Biaya orang-orang hukuman dan tawanan perang;
(d) Biaya perlengkapan perang; dan
(e) Hadiah-hadiah kepada para pujangga dan para ulama.
Selain itu, para khalifah Umayyah menyediakan dana khusus untuk dinas belakang layar, sedangkan gaji tentara ditingkatkan sedemikian rupa, demi untuk menjalankan politik tangan besinya.
c. An Nidham Al-Harbi
Organisasi pertahanan pada kala Daulah Umayyah sama mirip yang telah dibentuk oleh khalifah Umar, hanya lebih disempurnakan. Hanya bedanya, jikalau pada waktu Khulafaur Rasyidin tentara Islam adalah tentara sukarela, maka pada zaman Daulah Umayyah orang masuk tentara kebanyakan dengan paksa atau setengah paksa, yang dinamakan Nidhamut Tajnidil Ijbari yakni semacam undang-undang wajib militer.
Politik ketentaraan pada kurun Bani Umayyah, adalah politik Arab oriented, dimana anggota tentara haruslah terdiri dari orang-orang Arab atau imam Arab. Keadaan itu berjalan terus, sampai-sampai tempat kerajaannya menjadi luas meliputi Afrika Utara, Andalusia dan lain-lainnya sehingga terpaksa meminta pemberian kepada bangsa Barbar untuk menjadi tentara.
Organisasi tentara pada abad ini banyak mencontoh organisasi tentara Persia. Pada abad khalifah Utsman telah mulai dibangun angkatan maritim Islam, tetapi sangat sederhana. Setelah Muawiyah memegang kendali negara Islam, maka dibangunlah armada Islam yang besar lengan berkuasa dengan tujuan untuk:
(1) mempertahankan kawasan-daerah Islam dari serangan armada Romawi; dan
(2) memperluas dakwah Islamiyah.
Muawiyah membentuk armada demam isu panas dan armada trend dingin, sehingga ia sanggup bertempur dalam segala ekspresi dominan. Armada Laut Syam terdiri dari banyak kapal perang, di zaman Muawiyah Laksamana Aqobah bin Amri Fahrim menyerang pulau Rhadas. Dalam tahun 53 H, armada Romawi menyerang tempat Islam dan terbunuh seorang panglimanya yang berjulukan Wardan. Hal ini membuka mata kaum muslimin sehingga para pembesar Islam bergegas membangun galangan kapal perang di Pulau Raudhah dalam tahun 64 H.
d. An Nidhamm Al-Qadhai
Pada kurun Daulah Umayyah kekuasaan pengadilan telah dipisahkan dari kekuasaan politik. Kehakiman pada zaman itu memiliki dua ciri khasnya yakni:
(1) Bahwa seorang qadhi menetapkan masalah dengan ijtihadnya, karena pada waktu itu belum ada lagi madzhab empat atau madzhab lainnya. Pada abad itu para qadhimenggali hukum sendiri dari al-Qur'an dan As Sunnah dengan berijtihad.
(2) Kehakiman belum terpengaruh dengan politik, alasannya para qadhi bebas merdeka dengan hukumnya, tidak terpengaruh dengan kehendak para pembesar yang berkuasa. Para hakim pada zaman Umayyah ialah manusia pilihan yang bertakwa kepada Allah Swt dan melakukan aturan dengan adil, sementara itu para khalifah mengawasi gerakgerik dan sikap mereka, sehingga jikalau ada yang menyeleweng langsung dipecat.
Kekuasaan kehakiman di zaman ini dibagi ke dalam tiga tubuh:
(1) Al-Qadha, seorang qadhi bertugas menyelesaikan perkara-masalah yang bekerjasama dengan agama;
(2) Al-Hisbah, seorang al-Muhtashib bertugas menuntaskan kasus-perkara umum dan soal-soal pidana yang memerlukan tindakan cepat; dan
(3) An-Nadhar fil Madhalim yaitu mahkamah tertinggi atau mahkamah banding.
An Nadhar fil Madhalim merupakan pengadilan tertinggi yang bertugas menerima banding dari pengadilan yang berada di bawahnya dan mengadili para hakim dan para pembesar tinggi yang bersalah. Pengadilan ini bersidang di bawah pimpinan khalifah sendiri atau orang yang ditunjuk olehnya. Para khalifah Bani Umayyah menyediakan satu hari saja dalam seminggu untuk keperluan ini dan yang pertama kali mengadakannya ialah Khalifah Abdul Malik bin Marwan. Seperti mahkamahmahkamah yang lain, Mahkamah Madhalim ini diadakan dalam masjid. Ketua Mahkamah Madhalim dibantu oleh lima orang pejabat lainnya, dimana sidang mahkamah itu tidak sah tanpa mereka adalah:
(1) Para pengawal yang kuat, yang sanggup bertindak kalau para pesakitan lari;
(2) Para hakim dan qadhi;
(3) Para sarjana aturan (fuqaha) kawasan para hakim meminta pendapat tentang hokum; dan
(4) Para penulis yang bertugas mencatat segala jalannya siding.
Mahkamah Madhalim dipimpin oleh khalifah, bila di ibukota negara oleh gubernur dan jika di ibukota wilayah oleh Qadhil Qudhah atau hakim-hakim lain yang mewakili khalifah atau gubernur. Para hakim waktu mengadili masalah memakai jubah dan sorban hitam, sebagai lambang dari Daulah Abbasiyah. Jubah dan sorban hitam pada waktu itu, khusus untuk para hakim.
Selain itu, pada era Daulah Umayyah diadakan satu jabatan baru yang bernama al-Hijabah, yakni urusan pengawalan keselamatan khalifah. Mungkin sebab khawatir akan terulang peristiwa pembunuhan terhadap Ali dan percobaan pembunuhan terhadap Muawiyah dan Amru bin Ash, maka diadakanlah penjagaan yang ketat sekali terhadap diri khalifah, sehingga siapapun tidak mampu menghadap sebelum mendapat izin dari para pengawal (hujjab).
Kepala pengawalan keselamatan khalifah yakni jabatan yang sangat tinggi dalam istana kerajaan, waktu khalifah Abdul Malik bin Marwan melantik kepala pengawalnya, antara lain ia memberi amanat, “Engkau telah kuangkat menjadi kepalapengawalku. Siapapun dihentikan masuk menghadap tanpa izinmu, kecuali muazzin, pengantar pos dan pengurus dapur”.
0 Response to "Sistem Pemerintahan Bani Umayyah Di Damaskus"
Post a Comment