Pengalaman Sufi Teman Nabi Saw

a. Abu Bakar Ash Shiddiq
Abu Bakar r.a yakni salah spesialis nirwana, Nabi Saw sendiri pernah memberi gosip besar hati kepada dia tentang kedudukan ia di dalam syurga. Bahkan diberitahu bahawa beliau akan menjadi ketua kepada satu kumpulan mahir syurga. Semua pintu surga akan menyeru dan memanggil nama dia.

Banyak orang yang sudah biasa dengan suatu iktikad sudah tidak ragu lagi, sampai-hingga ia jadi fanatik dan kaku dengan kepercayaannya itu. Bahkan ada yang sudah tidak tahan lagi melihat muka orang yang berbeda kepercayaan. Mereka menganggap bahwa dogma yang bekerjsama harus fanatik, keras, dan tegar.

Sebaliknya Abu Bakar, dengan keimanannya yang begitu agung dan begitu teguh, tak pernah ia goyah dan ragu, jauh dari sikap agresif. Sikapnya lebih lunak, penuh pemaaf, penuh kasih jikalau dogma itu sudah menerima kemenangan. Dengan begitu, dalam hatinya terpadu dua prinsip kemanusiaan yang paling mendasari: mencintai kebenaran, dan penuh kasih sayang. Demi kebenaran itu segalanya bukan apa-apa baginya, terutama duduk perkara hidup duniawi. Apabila kebenaran itu sudah dijunjung tinggi, maka lahir pula rasa kasih sayang, dan beliau akan berpegang teguh pada prinsip ini mirip pada yang pertama. Terasa lemah beliau menghadapi semua itu sehingga matanya berair oleh air mata yang deras mengalir.

Rabi’ah Aslami r.a menceritakan, ”Pernah sekali berlaku pertengkaran antara saya dengan Hazrat Abu Bakar r.a kerana sesuatu masalah. Beliau telah menyampaikan sesuatu yang berangasan terhadap saya yang saya tidak suka. Beliau segera menyedari keadaan itu dan berkata kepada aku, ”Engkau pun katakanlah perkataan itu kepada aku semoga menjadi balasan terhadap saya.

Demikian itulah sifat ketakutan Hazrat Abu Bakar r.a kepada Allah Swt. Beliau begitu risau dan mengambil berat wacana satu perkataan yang remeh sehingga pada mulanya dia sendiri yang meminta supaya dibalasi dan kemudian dengan perantaraan Rasulullah Saw, beliau ingin semoga Rabi’ah r.a mengambil tindakan balas.

b. Umar Bin Khattab
Suatu hari Amiril Mukminin Umar bin Khaththab r.a. dikirimi harta yang banyak. Beliau memanggil salah seorang pembatu yang berada di dekatnya. “Ambillah harta ini dan pergilah ke rumah Abu Ubaidah bin Jarrah, kemudian berikan uang tersebut. Setelah itu berhentilah sesaat di rumahnya untuk melihat apa yang dia lakukan dengan harta tersebut,” begitu perintah Umar kepadanya.

Rupanya Umar ingin melihat bagaimana Abu Ubaidah menggunakan hartanya. Ketika pembantu Umar sampai di rumah Abu Ubadah, dia berkata, “Amirul Mukminin mengirimkan harta ini untuk Anda, dan ia juga berpesan kepada Anda, ‘Silakan pergunakan harta ini untuk memenuhi kebutuhan hidup apa saja yang Anda kehendaki’.”

Abu Ubaidah berkata, “Semoga Allah mengaruniainya keselamatan dan kasih sayang. Semoga Allah membalasnya dengan pahala yang berlipat.” 

Kemudian dia berdiri dan memanggil hamba sahaya wanitanya. “Kemarilah. Bantu aku membagi-bagikan harta ini!.” 

Lalu mereka mulai membagi-bagikan harta bantuan Umar itu kepada para fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan dari kaum muslimin, sampai seluruh harta ini habis diinfakkan.

Pembantu Umar pun kembali pulang. Umar pun memberinya uang sebesar empat ratus dirham seraya berkata, “Berikan harta ini kepada Muadz bin Jabal!” Umar ingin melihat apa yang dilakukan Muadz dengan harta itu. Maka, berangkatlah si pembantu menuju rumah Muadz bin Jabal dan berhenti sesaat di rumahnya untuk melihat apa yang dilakukan Muadz terhadap harta tersebut.

Muadz memanggil hamba sahayanya. “Kemarilah, bantu saya membagi-bagikan harta ini!” Lalu Muadz pun membagi-bagikan hartanya kepada fakir miskin dan mereka yang membutuhkan dari kalangan kaum muslimin sampai harta itu habis sama sekali di bagi-bagikan. Ketika itu istri Muadz melihat dari dalam rumah, lalu berkata, “Demi Allah, aku juga miskin.” Muadz berkata, “Ambillah dua dirham saja.”

Pembantu Umar pun pulang. Untuk ketiga kalinya Umar memberi empat ribu dirham, kemudian berkata, “Pergilah ke kawasan Saad bin Abi Waqqash!” Ternyata Saad pun melakukan apa yang dilakukan oleh dua teman sebelumnya. Pulanglah sang pembantu kepada Umar. Kemudian Umar menangis dan berkata, “Alhamdulillah, segala puji syukur bagi Allah.”

c. Utsman Bin Affan
Dalam kitab Al Thabaqat, Taj-ul Subki menceritakan bahwa ada seorang lakilaki bertamu kepada Utsman. Laki-laki tersebut gres saja bertemu dengan seorang perempuan di tengah jalan, lalu beliau menghayalkannya. Utsman berkata kepada laki-laki itu, “Aku melihat ada bekas zina di matamu.”

Laki-laki itu bertanya, “Apakah wahyu masih diturunkan sehabis Rasulullah saw wafat?”

Utsman menjawab, “Tidak, ini yaitu firasat seorang mukmin.” Utsman r.a. menyampaikan hal tersebut untuk mendidik dan menegur laki-laki itu biar tidak mengulangi apa yang telah dilakukannya.

Selanjutnya Taj-ul Subki menjelaskan bahwa jika seseorang hatinya jernih, maka dia akan melihat dengan nur Allah Swt, sehingga dia mampu mengetahui apakah yang dilihatnya itu kotor atau bersih. Maqam orang-orang seperti itu berbeda-beda. Ada yang mengetahui bahwa yang dilihatnya itu kotor tetapi beliau tidak mengetahui sebabnya. Ada yang maqamnya lebih tinggi alasannya adalah mengetahui karena kotornya, seperti Utsman r.a. Ketika ada seorang laki-laki datang kepadanya, Utsman mampu melihat bahwa hati orang itu kotor dan mengetahui sebabnya ialah alasannya adalah menghayalkan seorang wanita.

Sekecil apa pun kemaksiatan akan membuat hati kotor sesuai kadar kemaksiatan itu. Kotoran itu bisa dibersihkan dengan memohon ampun (istighfar) atau perbuatan-perbuatan lain yang mampu menghilangkannya. Hal tersebut hanya diketahui oleh orang yang mempunyai mata batin yang tajam mirip Utsman bin Affan, sehingga beliau bisa mengetahui kotoran hati meskipun kecil, alasannya menghayalkan seorang wanita merupakan dosa yang paling ringan, Utsman mampu melihat kotoran hati itu dan mengetahui sebabnya. Ini yaitu maqam paling tinggi di antara maqam maqam lainnya.

d. Ali Bin Abi Thalib
Ali bin Abi Thalib ra, selain dalam kehidupan pribadinya, beliau yakni orang yang zuhud (sederhana dalam hidup), dia memandang bahwa zuhud bagi penguasa merupakan sesuatu yang penting dan wajib. Beliau berkata, “Allah menjadikanku sebagai imam dan pemimpin dan aku melihat perlunya saya hidup seperti orang miskin dalam berpakian, makan, dan minum sehingga orang-orang miskin mengikuti kemiskinanku dan orang-orang kaya tidak berbuat yang berlebihan.”

Ali bin Abi Thalib memakai pakaian yang keras, yang dibelinya seharga lima dirham. Pakaian itu bertambal sehingga dikatakan, “Wahai Imam Ali! Pakaian apa yang engkau kenakan?” Beliau berkata, “Pakaian yang menjadi acuan bagi Mukminin menjadi penyebab khusyuknya hati dan tawadhu’, memberikan insan kepada tujuan, merupakan syiar orang saleh, dan tidak menjadikan kesombongan. Alangkah baiknya jika Muslimin mencontohnya.

Demikianlah sobat bacaan madani ulasan ihwal pengalaman sufi teman Nabi Saw. Sumber buku Siswa Akidah Akhlak Kelas XI MA Kementerian Agama Republik Indonesia, 2015. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com supaya bermanfaat. Aamiin.

0 Response to "Pengalaman Sufi Teman Nabi Saw"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel