Perkembangan Kebudayaan Islam Pada Periode Bani Umayyah Di Andalusia (Spanyol)
Kebudayaan Islam pada Masa Bani Umayyah di Andalusia
Kebudayaan Islam periode Bani Umayyah mengalami perkembangan yang sangat mengesankan dan mengagumkan pada kurun pemerintahan Abdurrahman III an-Nashir (300-350 H/912-961 M). Di bawah khalifah ‘Abd al-Rahman III dan penerusnya, al-Hakam II dan al-Manshur, Andalusia benar-benar mencapai puncak kejayaannya dalam bidang keagamaan maupun kebudayaan. Kota Kordova berkembang menjadi pusat kebudayaan yang sebanding dengan Kairawan, Damaskus, atau Baghdad. Menurut satu laporan pada pengujung masa ke 4/ 10 kota Kordova saja mempunyai 1.600 masjid, 900 pemandian umum, 60.300 villa, 213.077 rumah, dan 80.455 toko.18 Kemegahan dan kemeriahan kota Kordova juga dimiliki oleh kota-kota lain di Andalusia.
Ibn Hawqal yang mengunjungi Andalusia pada pertengahan kurun ke 4/10 melaporkan bahwa semua kota di wilayah tersebut besar dan ramai, memiliki kemudahan perkotaan yang sangat lengkap, jalan-jalan yang lapang dan bersih, pemandian, dan penginapan.
Pada dikala yang sama ia juga mencatatkan bahwa Andalusia masih memiliki sejumlah wilayah pedesaan yang kurang berkembang, biasanya dihuni oleh penduduk beragama Katolik. Implisit dalam pernyataan ini ialah bahwa kesediaan berinteraksi dengan Islam dan bahasa Arab dipersepsi sebagai satu jalan menuju kemajuan dan perkembangan peradaban saat itu.
Menurut analisis Chejne, laporan ihwal banyaknya pemandian umum dapat dipakai sebagai indikasi tingkat Islamisasi yang telah terjadi di kota-kota Andalusia. Sebab, pemandian umum adalah sebuah fitur budaya yang tidak dikenal di Andalusia sebelum masuknya Islam. Lagi pula pemandian umum pada kala tersebut lebih banyak dipergunakan untuk kepentingan keagamaan. Karena itu pula (asosiasi pemandian umum dengan agama Islam) penduduk Nasrani Andalusia pada umumnya tidak menyukai pemandian umum, sama mirip mereka tidak menyukai adanya masjid dalam jumlah besar.
Pada kala kejayaan ini, ketergantungan kultural Andalusia kepada Dunia Islam Timur sudah berakhir, dan Andalusia mulai mengembangkan kebudayaannya sendiri dengan identitasnya yang khas Andalusia. Islam dan bahasa Arab terang merupakan faktor terpenting dan sekaligus menjadi identitas dalam kemajuan budaya Andalusia dikala itu, sama dengan di aneka macam serpihan dunia Islam lainnya.
Akan tetapi, sekarang Andalusia mulai membangun identitas sosio kulturalnya sendiri. Sekadar acuan, bila di aneka macam tempat lain pendidikan anak dimulai dengan menghapal al-Qur’an, di Andalusia pendidikan anak dimulai dengan pelajaran membaca dan menulis memakai ayat-ayat al-Qur'an sebagai materi. Dengan cara itu mereka dapat menguasai keterampilan membaca, menulis dan penguasaan kitab suci pada saat yang bersamaan.
Contoh lain yaitu penggunaan penanggalan nonhijriyah oleh sementara penulis Muslim di Andalusia. Bukan hal yang abnormal jika seorang penulis Muslim di Andalusia memakai secara paralel penanggalan hijriyah (Islam), penanggalan Romawi (Masehi), dan penanggalan Koptik. Praktik ini contohnya mampu dilihat dalam karyakarya Ibn al-Banna’ al-Marakkusyi, Ibn al-Idzari, dan Ibn al- Khathib. Di sisi lain hal yang sama juga dilakukan oleh beberapa penulis beragama Katolik.
Pada periode keemasan ini Islamisasi Andalusia benar-benar mengalami kemajuan. Kemajuan ini tentu saja dimungkinkan karena tersedianya stabilitas dan kemapanan sosial politik yang diupayakan oleh para penguasanya. Dalam iklim yang mendukung inilah kemudian tercapai banyak sekali pencapaian spektakuler pada banyak sekali bidang. Ilmu-ilmu keagamaan berkembang sedemikian rupa mengimbangi perkembangan yang terjadi di lingkup dinasti Abbasiyah. Lembaga pendidikan madrasah juga berkembang dengan baik dan menjadi wadah pengembangan ilmu-ilmu keislaman secara umum.
Ibn Rusyd dikenal sebagai seorang penulis besar di bidang fikih, terutama sekali sebab karyanya Bidayah alMujtahid. Perkembangan di bidang ini mampu juga diapresiasi secara umum melalui berbagai karya yang merekam biografi para ulama, di bidang fikih khususnya.
Sebuah observasi menarik disampaikan oleh Watt dan Cachia perihal dominannya paham dan pengamalan mazhab Maliki di Andalusia berbanding dengan mazhab-mazhab fikih lainnya yang lebih popular di bab dunia Islam lainnya. Menurut mereka, kuatnya akar Helenisme di provinsi-provinsi Islam Timur menjadi landasan bagi populernya mazhab Hanafi dan Syafi’i yang lebih rasionalistik di lingkungan dinasti Abbasiyah.
Sementara itu di Andalusia, agama dan kebudayaan Islam dapat dikatakan sepenuhnya ditafsirkan dan diamalkan sesuai dengan selera asli orang Arab pendatang, dan karenanya menjadi lebih cenderung kepada penafsiran imam Malik yang lebih literalistik dan berbasis pada pengalaman umat Islam Hijaz. Dengan kata lain Islam Andalusia tidak bersentuhan secara intens dengan Helenisme.
Ibn Rusyd juga dikenal luas berkat pedoman-anutan filsafatnya yang kemudian menjadi sebuah paham tersendiri, lumrah dikenal sebagai Averroisme. Masih dalam kelompok filsafat dan sains terdapat nama-nama popular semacam Ibn Bajah atau Ibn Thufayl. Tetapi ada juga Ibn Barghut, Ibn Khayrah al-‘Attar, Ibn Ahmad al-Sarqasti, atau Muhammad ibn al-Layth.
Pada bidang bahasa dan sastra Arab, zaman keemasan Andalusia juga melahirkan sejumlah besar nama-nama cemerlang. Al-Andalusi, contohnya, mencantumkan nama-nama Ibn Syahr al-Ra’ini, Yahya ibn Hisyam al-Qarsyi, dan sejumlah nama lainnya. Tentu saja sejumlah besar nama lain dapat dengan mudah ditambahkan sebagai bintang-bintang terperinci para ilmuan besar dari Andalusia. Khusus berkenaan dengan bahasa dan sastra Arab, sesudah masa awal ketergantungan dengan dunia Islam Timur, pada akhirnya Andalusia melahirkan invensinya sendiri yang menjadi keunikan kontribusinya.
Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan wacana perkembangan kebudayaan Islam pada periode Bani Umayyah di Andalusia (Spanyol). Sumber Modul 4 Perkembangan Islam Sesudah Masa Khulafaur Rasyidin, Pendidikan Profesi Guru dalam Jabatan Kementerian Agama Republik Indonesia 2018. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.
Kebudayaan Islam periode Bani Umayyah mengalami perkembangan yang sangat mengesankan dan mengagumkan pada kurun pemerintahan Abdurrahman III an-Nashir (300-350 H/912-961 M). Di bawah khalifah ‘Abd al-Rahman III dan penerusnya, al-Hakam II dan al-Manshur, Andalusia benar-benar mencapai puncak kejayaannya dalam bidang keagamaan maupun kebudayaan. Kota Kordova berkembang menjadi pusat kebudayaan yang sebanding dengan Kairawan, Damaskus, atau Baghdad. Menurut satu laporan pada pengujung masa ke 4/ 10 kota Kordova saja mempunyai 1.600 masjid, 900 pemandian umum, 60.300 villa, 213.077 rumah, dan 80.455 toko.18 Kemegahan dan kemeriahan kota Kordova juga dimiliki oleh kota-kota lain di Andalusia.
Ibn Hawqal yang mengunjungi Andalusia pada pertengahan kurun ke 4/10 melaporkan bahwa semua kota di wilayah tersebut besar dan ramai, memiliki kemudahan perkotaan yang sangat lengkap, jalan-jalan yang lapang dan bersih, pemandian, dan penginapan.
Pada dikala yang sama ia juga mencatatkan bahwa Andalusia masih memiliki sejumlah wilayah pedesaan yang kurang berkembang, biasanya dihuni oleh penduduk beragama Katolik. Implisit dalam pernyataan ini ialah bahwa kesediaan berinteraksi dengan Islam dan bahasa Arab dipersepsi sebagai satu jalan menuju kemajuan dan perkembangan peradaban saat itu.
Menurut analisis Chejne, laporan ihwal banyaknya pemandian umum dapat dipakai sebagai indikasi tingkat Islamisasi yang telah terjadi di kota-kota Andalusia. Sebab, pemandian umum adalah sebuah fitur budaya yang tidak dikenal di Andalusia sebelum masuknya Islam. Lagi pula pemandian umum pada kala tersebut lebih banyak dipergunakan untuk kepentingan keagamaan. Karena itu pula (asosiasi pemandian umum dengan agama Islam) penduduk Nasrani Andalusia pada umumnya tidak menyukai pemandian umum, sama mirip mereka tidak menyukai adanya masjid dalam jumlah besar.
Pada kala kejayaan ini, ketergantungan kultural Andalusia kepada Dunia Islam Timur sudah berakhir, dan Andalusia mulai mengembangkan kebudayaannya sendiri dengan identitasnya yang khas Andalusia. Islam dan bahasa Arab terang merupakan faktor terpenting dan sekaligus menjadi identitas dalam kemajuan budaya Andalusia dikala itu, sama dengan di aneka macam serpihan dunia Islam lainnya.
Akan tetapi, sekarang Andalusia mulai membangun identitas sosio kulturalnya sendiri. Sekadar acuan, bila di aneka macam tempat lain pendidikan anak dimulai dengan menghapal al-Qur’an, di Andalusia pendidikan anak dimulai dengan pelajaran membaca dan menulis memakai ayat-ayat al-Qur'an sebagai materi. Dengan cara itu mereka dapat menguasai keterampilan membaca, menulis dan penguasaan kitab suci pada saat yang bersamaan.
Contoh lain yaitu penggunaan penanggalan nonhijriyah oleh sementara penulis Muslim di Andalusia. Bukan hal yang abnormal jika seorang penulis Muslim di Andalusia memakai secara paralel penanggalan hijriyah (Islam), penanggalan Romawi (Masehi), dan penanggalan Koptik. Praktik ini contohnya mampu dilihat dalam karyakarya Ibn al-Banna’ al-Marakkusyi, Ibn al-Idzari, dan Ibn al- Khathib. Di sisi lain hal yang sama juga dilakukan oleh beberapa penulis beragama Katolik.
Pada periode keemasan ini Islamisasi Andalusia benar-benar mengalami kemajuan. Kemajuan ini tentu saja dimungkinkan karena tersedianya stabilitas dan kemapanan sosial politik yang diupayakan oleh para penguasanya. Dalam iklim yang mendukung inilah kemudian tercapai banyak sekali pencapaian spektakuler pada banyak sekali bidang. Ilmu-ilmu keagamaan berkembang sedemikian rupa mengimbangi perkembangan yang terjadi di lingkup dinasti Abbasiyah. Lembaga pendidikan madrasah juga berkembang dengan baik dan menjadi wadah pengembangan ilmu-ilmu keislaman secara umum.
Ibn Rusyd dikenal sebagai seorang penulis besar di bidang fikih, terutama sekali sebab karyanya Bidayah alMujtahid. Perkembangan di bidang ini mampu juga diapresiasi secara umum melalui berbagai karya yang merekam biografi para ulama, di bidang fikih khususnya.
Sebuah observasi menarik disampaikan oleh Watt dan Cachia perihal dominannya paham dan pengamalan mazhab Maliki di Andalusia berbanding dengan mazhab-mazhab fikih lainnya yang lebih popular di bab dunia Islam lainnya. Menurut mereka, kuatnya akar Helenisme di provinsi-provinsi Islam Timur menjadi landasan bagi populernya mazhab Hanafi dan Syafi’i yang lebih rasionalistik di lingkungan dinasti Abbasiyah.
Sementara itu di Andalusia, agama dan kebudayaan Islam dapat dikatakan sepenuhnya ditafsirkan dan diamalkan sesuai dengan selera asli orang Arab pendatang, dan karenanya menjadi lebih cenderung kepada penafsiran imam Malik yang lebih literalistik dan berbasis pada pengalaman umat Islam Hijaz. Dengan kata lain Islam Andalusia tidak bersentuhan secara intens dengan Helenisme.
Ibn Rusyd juga dikenal luas berkat pedoman-anutan filsafatnya yang kemudian menjadi sebuah paham tersendiri, lumrah dikenal sebagai Averroisme. Masih dalam kelompok filsafat dan sains terdapat nama-nama popular semacam Ibn Bajah atau Ibn Thufayl. Tetapi ada juga Ibn Barghut, Ibn Khayrah al-‘Attar, Ibn Ahmad al-Sarqasti, atau Muhammad ibn al-Layth.
Pada bidang bahasa dan sastra Arab, zaman keemasan Andalusia juga melahirkan sejumlah besar nama-nama cemerlang. Al-Andalusi, contohnya, mencantumkan nama-nama Ibn Syahr al-Ra’ini, Yahya ibn Hisyam al-Qarsyi, dan sejumlah nama lainnya. Tentu saja sejumlah besar nama lain dapat dengan mudah ditambahkan sebagai bintang-bintang terperinci para ilmuan besar dari Andalusia. Khusus berkenaan dengan bahasa dan sastra Arab, sesudah masa awal ketergantungan dengan dunia Islam Timur, pada akhirnya Andalusia melahirkan invensinya sendiri yang menjadi keunikan kontribusinya.
0 Response to "Perkembangan Kebudayaan Islam Pada Periode Bani Umayyah Di Andalusia (Spanyol)"
Post a Comment